Minggu, 01 Januari 2012

Mantan Pimpinan KPK di BUMN Bebankan Negara

Kebiasaan pemerintah memberikan jabatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada para mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai mubazir dan berpotensi membebani negara.

Kebiasaaan ini juga menunjukkan pemerintah yang represif dan meminimalisir pluralisme aktor. Demikian diutarakan pengamat politik LIPI, Siti Juhro saat dihubungi di Jakarta, Ahad (1/1).

"Ini kasusnya sama seperti orang partai diletakkan di Badan Pemeriksa Keuangan. Artinya pergeseran jabatan dari satu institusi ke institusi lain seolah diadakan hanya untuk mengakomodasi orang-orang tertentu. Padahal banyak orang yang lebih kompeten untuk jabatan itu. Akibatnya tidak ada pluralisme aktor," ujarnya.


Seperti diketahui, pimpinan KPK Periode 2007-2011 Haryono Umar akan dilantik menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, sejumlah mantan pimpinan KPK juga bergeser ke beberapa institusi negara. Taufiqurrahman Ruqi menjadi Komisaris Utama PT Krakatau Steel dan Erry Riyana Hardjapamekas sebagai Komisaris Utama PT Bank BNI 46.

"Saya sih takutnya mereka malah menjadi beban Pak Dahlan (Menteri BUMNDahlan Iskan). Kementerian BUMN harus mengakomodasi keberadaan mereka yang sebenarnya tidak perlu. Toh saat mereka di BUMN juga, kita belum mendengar kinerja mereka sejauh ini," tutur Siti lagi.

Menurut Siti, keberadaan mereka di BUMN justru malah menambah biaya birokrasi. "Mungkin ketika di KPK mereka bisa bekerja dengan baik, tapi mereka kan bakal masuk ke institusi berbeda dengan sistem yang baru pula. Pasti dibutuhkan adaptasi, pelatihan dan pengenalan. Tidak mungkin begitu masuk langsung jalan. Dan itu pun belum tentu mereka bisa beradaptasi. Kenapa tidak pilih orang lain saja yang lebih jelas punya kompetensi?" tanyanya.

Ditambahkan Siti, kebiasaan ini serupa seperti tindakan pemerintah menambah wakil menteri yang baru-baru ini dilaksanakan.
"Ini kan tidak perlu. Hal seperti ini bukannya menambah efektifitas lembaga tapi justru dapat menyebabkan disfungsi lembaga. Terlalu banyak orang yang tidak dibutuhkan dalam satu institusi. Jadinya seperti layaknya politik kekerabatan," terangnya.

Kebiasaan seperti ini, kata Siti, seharusnya ditiadakan karena tidak memberikan kesempatan bagi golongan muda yang benar-benar mampu untuk masuk dan ikut bersaing. "Jadinya yang terpilih itu-itu saja dengan kapabilitas yang juga diragukan. Muter-muter saja, nggak pensiun-pensiun. Nggak bosan apa?" tanyanya. (Sumber: Metrotvnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar